Tentang Pasal 27 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008

Penggunaan media sosial dan website akhir-akhir ini memiliki intensitas yang sangat tinggi. Dan Indonesia termasuk negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia. Dengan adanya fenomena ini, maka tentu dibutuhkan sebuah norma yang dapat memberikan kenyamanan dalam melakukan interaksi di media sosial maupun di website online. Ada hal yang harus diperhatikan dalam hal segala aktifitas online yang dilakukan di internet.

Di Indonesia sendiri, kebutuhan tersebut diakomodir dengan adanya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ITE inilah yang mengatur tentang hal apa saja yang boleh dan dilarang dalam memberikan informasi dan transaksi elektronik di media yang bersifat online dengan tujuan memberikan kepastian hukum. Dalam UU ITE, perbuatan yang dilarang tertuang dalam pasal 27 sampai pasal 37. Namun pada kesempatan ini, hanya akan membahas hal-hal yang dilarang pada pasal 27, disertai contoh kasus yang telah diputuskan oleh pengadilan.

Pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan.

Pengaturan UU ITE tentang kesusilaan tertuang dalam Pasal 27 ayat 1, yaitu “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

Di dalam Pasal 27 ayat 1 UU ITE terdapat 2 unsur, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif.

Unsur-unsur obyektif di dalam pasal tersebut adalah:

  1. Perbuatan: mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya.
  2. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”
  3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Untuk unsur subyektifnya berupa kesalahan, yaitu yang dimaksud dengan “dengan sengaja”.

Pengaturan UU ITE dalam hal kesusilaan atau pornografi, khususnya ketentuan mengenai pornografi dan sanki pidananya disinkronasikan dengan UU Pornografi.

UU ITE dan UU Pornografi pada dasarnya saling melengkapi. Pasal 27 ayat 1 UU ITE adalah melarang orang untuk mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diakses muatan yang melanggar kesusilaan. Sedangkan UU Anti Pornografi mengatur batasan pornografi yang merupakan bagian dari “hal yang melanggar kesusilaan” yang diatur dalam UU ITE. Pasal 1 butir 1 UU Pornografi mendefinisikan Pornografi sebagai “gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.” Kemudian, Pasal 44 UU Pornografi menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan denagn undang-undang tersebut.

Contoh kasus berkenaan dengan Pasal 27 ayat 1 UU ITE dapat kita lihat pada kasus berikut dengan putusan Nomor 476/PID.Sus/2013/PN.Slmn. Pada surat keputusan tersebut telah menjatuhkan putusan kepada HERMAN JOSEPH bin IE HIE SOENG yang lahir di Yogyakarta tanggal 21 Mei 1966, menyatakan terdakwa HERMAN JOSEPH bin IE HIE SOENG terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan “dengan sengaja dan tanpa hak mentransmisikan informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

Bukti elektronik yang disita adalah berupa 1(satu) buah CPU server; 3(tiga) buah CPU biling, No.10, 15 dan 17; 1(satu) buah CPU biling; 1(satu) buah monitor; 1(satu) buah mouse; 1(satu) buah keyboard ; 1(satu) buah switch;

Modus kejahatannya adalah saudara HERMAN JOSEPH bin IE HIE SOENG selaku pengelola warnet yang bernama BELLA NET menyediakan jasa pornografi yang menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. Saudara HERMAN JOSEPH bin IE HIE SOENG menyimpan file-file berupa film dan gambar porno yang didapatkannya dari situs porno, sehingga user (pengguna) warnet dapat mengakses file-file yang bermuatan pornografi tersebut.

Jika kita melihat pada kasus tersebut, maka unsur “Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan /atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” telah terpenuhi. Berdasarkan fakta di persidangan, dan sesuai dengan keterangan saksi dan terdakwa sendiri, dan dengan adanya barang bukti yang diperoleh, maka saudara HERMAN JOSEPH bin IE HIE SOENG telah melanggar Pertama melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 45 ayat (1) yo Pasal 27 ayat (1) UU.RI.No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau Kedua melanggar ketentuan pasal 30 yo pasal 4 ayat (2) UU.RI.No.44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, atau Ketiga melanggar pasal 282 ayat (1) dan (3) KUHP dan Majelis akan membuktikan unsur pasal 45 ayat (1) yo pasal 27 ayat (1) UU.RI.No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Eletronik, sesuai fakta yang diperoleh dipersidangan.

Pasal 27 ayat 2 tentang perjudian.

Pengaturan UU ITE tentang perjudian tertuang dalam Pasal 27 ayat 2, yaitu “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian”.

Kasus judi online, selain dengan Pasal 303 KUHP bisa dijerat dengan Pasal 27 ayat 2 UU ITE. Oleh karena pelanggaran pada Pasal tersebut maka menurut Pasal 43 ayat 1, yang bersangkutan bisa ditangkap oleh Polisi atau “Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik”. Sementara sanksi yang dikenakan adalah Pasal 45 ayat 1, yaitu “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Contoh kasus berkenaan dengan Pasal 27 ayat 1 UU ITE dapat kita lihat pada kasus berikut dengan putusan Nomor 211/Pid.Sus/2016/PN-Bna. Pada surat keputusan tersebut telah menyatakan terdakwa Wanda Syahputra Bin Burhanuddin Yusuf terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja tanpa hak membuat dapat diaksesnya infomasi Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

Adapun yang dijadikan barang bukti elektronik adalah 1 (satu) Unit HP Asus layar retak, 1 (satu) unit HP merk Samsung, dan 1 (satu) unit Hp merk Nokia.

Modus kejahatannya adalah terdakwa yang sudah hampir setahun bermain judi online dan berperan sebagai agen melalui situs yang terdakwa buka dengan nama Istana Impian2 dengan ID COSALINO dan Pasword WANDASARI123. Kemudian terdakwa mendistribusikan dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian dengan cara terlebih dahulu mengumpulkan dana/uang taruhan dari para pemasang lalu mendepositkan uang kerekening Istana Impian 2, kemudian terdakwa mengakses situs Istana Impian 2 melalui Hp terdakwa yang ber merk asus warna hitam, dan apabila sudah sudah masuk maka terdakwa menunggu nomor judi yang keluar, jika ada yang keluar maka istana Impian 2 akan mentransfer uang pemenang dan terdakwa akan memperoleh fee sebesar 25% dari tiap-tiap pemenang.

Pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pengaturan UU ITE tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tertuang dalam Pasal 27 ayat 3, yaitu Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Di dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE terdapat 2 unsur, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif.

Unsur-unsur obyektif di dalam pasal tersebut adalah:

  1. Perbuatan: Mendistribusikan, Mentransmisikan, dan Membuat dapat diaksesnya.
  2. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”
  3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik

Unsur subyektifnya adalah berupa kesalahan, yaitu yang dimaksud dengan “dengan sengaja”.

Pengaturan Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini didasarkan pada: (i) karakteristik internet, dan (ii) kebutuhan perlindungan hak asasi warga negara Indonesia.

  • Pertama karakteristik internet. Anonymity atau pseudonimity adalah salah satu karakteristik dari internet, yang mana setiap orang dapat menggunakan nama lain selain nama diri yang sebenarnya. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan subyek hukum yang melakukan transaksi dan/atau iteraksi yang dilakukan dalam dunia maya sulit untuk diketahui. Atau dengan kata lain, setiap orang dapat dengan mudah menyalahgunakan kebebasan yang diperolehnya secara sistematis sebagai konsekuensi pola komunikasi di internet yang tidak dapat mewajibkan setiap orang mencantumkan identitas dirinya secara benar. Dengan demikian, perbuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui internet dapat dengan mudah dilakukan, sementara pelakunya sangat sulit untuk diketahui dan ditelusuri. Dan jika seseorang melakukan penelusuran sendiri terhadap hal tersebut maka ia telah melanggar hukum karena bertentangan dengan perlindungan privasi.
    Karakteristik lainnya adalah internet bersifat obiquitous dimana penyampaian informasi dapat dilakukan secara instan (‘seketika’), borderless (tidak terbatas ruang dan waktu), multiplicative (berlipat ganda), dan tersimpan permanen, sehingga internet dapat menjadi sarana penyebaran informasi yang menimbulkan dampak yang sangat luas dan tidak terbatas. Hal ini tentunya sangat merugikan bagi setiap orang yang dihina atau yang nama baiknya dicemarkan. Untuk menelusuri, mengungkapkan, atau mencari siapa pelakunya hanya merupakan kewenangan dan tanggung jawab aparat penyidik. Dalam hal ini proses penelusuran untuk menemukan siapa pelaku tersebut juga memerlukan keahlian dan kemampuan tertentu, khususnya keahlian dan kemampuan dalam hal perolehan dan penanganan bukti digital (digital evidence).
  • Kedua, berdasarkan amanat UUD NRI 1945, Pasal 28 G ayat 1 UUD NRI 1945 telah di tegas dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Oleh karena itu, pengaturan Pasal 27 ayat 3 UU ITE mutlak dibutuhkan.

Dengan demikian, berdasarkan karakteristik internet dan amanat Pasal 28 G ayat 1 UUD NRI 1945 tersebut diatas, maka Pasal 27 ayat(3) UU ITE mutlak diperlukan untuk melindungi semua orang dari penyalahgunaan hak kebebasan orang lain yang dilakukan melalui Sistem Elektronik (internet).

Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini mengandung banyak kontroversi. Banyak yang mengatakan bahwa pasal 27 ayat 3 UU ITE ini dapat membungkam kebebasan pers atau kebebasan berekspresi. Untuk menjawab hal ini, berdasarkan artikel tentang Tanya Jawab Seputar UU ITE, maka yang dimaksud dengan penghinaan ada dua jenis yakni (i) penghinaan formil (formele belediging), yakni pernyataan yang konten dan esensinya jelas dan tegas merupakan penghinaan karena, antara lain, menggunakan bahasa yang kasar dan tidak sopan, dan (ii) penghinaaan materil (mateliel belediging) yakni  pernyataan yang konten esensinya adalah bentuk penghinaan yang di lakukan secara halus.

Konten dan esensinya dari pernyataan tersebut harus dinilai secara keseluruhan baik dari segi bahasa amupaun dari segi hukum pidana serta pandangan objektif kebanyak orang. Dengan kata lain, suatu pernyataan tidak dapat dilihat secara garamatiakal yang parsial. Jadi berdasarkan pembagian ini, maka yang dapat di pidana adalah penghinaan formil. Penghinaan materil tidak dapat dipidana karena hal tersebut merupakan bentuk wujud dari kebebasan berpendapat yang harus dilindungi.

Oleh karena itu, pengaturan Pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak bertujuan dan tidak menghabat kebebasan pers atau kebebasan berekspresi. Akan tetapi sepatutnyalah pihak yang memiliki hak tersebut tidak menggunakan haknya dengan semena-mena. Mengemukakan pendapat atau menyatakan ekspresi haruslah sesuai dengan etika dan peraturan perundang-undangan.

Adapun unsur “tanpa hak” dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE merupakan unsur yang sangat penting. Pers, adalah profesi yang sama halnya dengan profesi dokter atau advokat dapat kebal hukum (memiliki hak) apabila memegang teguh: (i) taat pada kode etik, (ii) taat pada SOP (dengan kata lain harus ada SOP), dan (iii) semata-mata untuk menjalankan profesi dengan itikad baik. Namun jika ada salah satu dari ketiga hal tersebut dilanggar, pintu hukum akan terbuka.

Mari kita lihat contoh kasus yang berkaitan dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Berdasarkan surat keputusan Nomor 45 /Pid.B/2012/PN.MSH menetapkan bahwa saudara LECO MABA Alias LECO Alias ECON bersalah melakukan tindak pidana “Pencemaran nama baik/penghinaan” sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat 3 Jo pasal 45 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik.

Bukti elektronik pada kasus tersebut berupa 1 (satu) buah Hp Merek Nokia 2220 S Warna Silver dan 1 (satu) buah Hp Merek Nokia 5610 warna Merah.

Modus kejahatannya adalah terdakwa melakukan pencemaran nama baik lewat facebook dengan menggunakan HP merek Nokia tipe 2220 sehingga pengguna facebook lainnya bisa melihat serta membaca tulisan/ status dari terdakwa tersebut. Tulisan dari terdakwa di facebook adalah “Telah hilang 1 (satu) buah kotak amal milik Panitia Pembangunan Mesjid Attaqwa Kampung Jawa yang berada di lokasi pembangunan mesjid, dan menurut saksi mata yang mencuri adalah saksi korban Kadir Rumuar”. Kadir Rumuar adalah korban pencemaran nama baik dan mengakibatkan saksi korban sempat sok dan menangis, saksi korban merasa malu di depan umum terutama pada masyarakat Kampung Jawa karena saksi korban merasa bahwa pemberitaan tersebut tidak benar seperti apa yang dituduhkan terdakwa.

Jika dilihat dari modus kejahatannya, maka perlakuan terdakwa telah mengandung unsur mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.

Pasal 27 ayat 4 tentang pemerasan dan/atau pengancaman.

Pengaturan UU ITE tentang pemerasan dan/atau pengancaman tertuang dalam Pasal 27 ayat 4, yaitu Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Di dalam Pasal 27 ayat 4 UU ITE terdapat 2 unsur, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif.

Unsur-unsur obyektif di dalam pasal tersebut adalah:

  1. Perbuatan: Mendistribusikan, Mentransmisikan, dan Membuat dapat diaksesnya.
  2. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”
  3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Unsur subyektifnya adalah berupa kesalahan, yaitu yang dimaksud dengan “dengan sengaja”.

Yang dimaksud dengan kekerasan dalam hal ini adalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan fisik yang besar atau cukup besar, yang mengakibatkan orang yang dipaksa tidak berdaya secara fisik.

Sedangkan pada ancaman, kekerasan wujud nyata kekerasan belum dilakukan, namun telah menimbulkan rasa cemas dan takut akan benar-benar akan diwujudkan. Karena itu ketidakberdayaan akibat dari ancaman kekerasan bersifat psikis. Ancaman kekerasan pada seseorang bisa dilakukan dengan mendistribusikan Informasi Elektronik. Misalnya dengan mengirimkan e-mail pada alamat seseorang atau mengirim SMS pada nomor handphone seseorang.

Maka dalam hal ini, SMS yang berisi ancaman tersebut dapat ditafsirkan dengan menggunakan penafsiran hukum ekstensif yang diperluas yaitu sebagai informasi elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Kasus yang berkaitan dengan pasal ini seperti yang ada pada Surat Putusan Nomor 166/Pid.B/2015/PN.Pgp yang menetapkan bahwa saudara JUMRI ALS JUM BIN H. SAMIUN telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan Pengancaman Melalui Sarana Elektronik” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 45 ayat (1) jo pasal 27 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Barang bukti elektronik berupa 1 (satu) unit Handphone merk LG G-Pro warna hitam dengan sim card 081210888919 dan 1 (satu) unit handphone merk Nokia Type X3-02 warna hitam nomor sim card 081271171118.

Modus kejahatannya adalah terdakwa dengan menggunakan Handphone merk Nokia Type X3-02 warna hitam dengan simcard 081271171118 telah mengirimkan sms yang isinya telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia sebagai berikut “Wewe ini Jum Puput teman Iwan, masalah uang sisa 16 juta itu jangan kamu pikir lagi, tidak usah kamu bayar juga tidak apa-apa, saya ini orang kampung we, saya tidak masalah hilang uang segitu, Tapi Ingat. Kamu jangan merasa menyesal jika kamu, dan anak istrimu ada yang muntah darah salah satu diantara kalian, ingat ya. Kamu memang banyak uang, tapi kamu tidak punya banyak ilmu, jangan kamu kira kalau kamu sudah banyak uang, kamu tidak mempan santet, karena saya rasa, istri kamu tahu apa yang tadi sudah saya ambil dirumah kamu, keluarga kamu lebih berharga daripada uang 16 juta itu. Iya kan? Maaf we, terpaksa aku lakukan ini, saya rasa kamu mau mencoba seperti Dirkrimsus Polda yang sudah meninggal dunia itu. Itu gara-gara dia membuat masalah dengan keluarga saya”.

Hal tersebut berawal dari sekitar bulan Desember 2013 orang bernama M.Feran alias Iwan menjual timah milik terdakwa kepada saksi Hengki alias Wewe sebanyak 214 Kg (Dua Ratus Empat Belas kilogram) Timah seharga Rp. 23.200.000,- (Dua Puluh Tiga Juta Dua Ratus Ribu Rupiah), kemudian saksi Hengki alias Wewe baru membayar Rp 7.200.000,- (Tujuh Juta Dua ratus Ribu) kepada M. Feran. Dikarenakan M.Feran mempunyai hutang kepada saksi Hengki alias Wewe sebesar Rp. 352.968.128,- (Tiga Ratus lima Puluh Dua Juta Sembilan Ratus Enam Puluh Delapan Ribu Seratus Dua Puluh Delapan Rupiah), saksi Hengki alias Wewe tidak mau melunasi uang timah milik terdakwa. Sehingga terdakwa bersama M.Feran alias iwan telah berulang kali kerumah saksi Hengki alias Wewe akan tetapi tidak pernah bertemu dengan saksi Hengki alias Wewe. Akhirnya pada hari Sabtu tanggal 11 Januari 2014 sekira pukul 21.48 saksi Hengki alias Wewe menerima SMS dari terdakwa nomor 081271171118 yang isinya seperti yang disebutkan diatas sehingga membuat saksi Hengki alias Wewe merasa tidak nyaman dan terancam dan memindahkan anak dan isterinya ke Jakarta.

Jika dilihat dari isi sms ancaman yang mengakibatkan saksi korban merasa tidak nyaman, dan ancaman itu sendiri dikirimkan menggunakan media elektronik berupa sms, maka unsur mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/ atau pengancaman telah terpenuhi.

Sumber:

  • UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK https://www.anri.go.id/assets/download/97UU-Nomor-11-Tahun-2008-Tentang-Informasi-dan-Transaksi-Elektronik.pdf
  • http://www.hukumonline.com
  • Tanya Jawab Seputar UU ITE https://www.academia.edu/27037116/Tanya_Jawab_Seputar_UU_ITE_Umum_Materi_dan_cakupan_UU_ITE

Leave a Reply