Locus Delicti dan Tempus Delicti dalam Cybercrime

Internet saat ini telah menciptakan sebuah dunia baru yaitu cyberspace, sebuah dunia komunikasi yang berbasis komputer yang menawarkan realitas yang baru berbentuk virtual (langsung dan tidak langsung). Seiring dengan berkembangnya Internet, maka kejahatan yang menggunakan teknologi atau disebut dengan cybercrime juga ikut berkembang. Olehnya diperlukan pengaturan terhadap cybercrime ini.

Walaupun telah dibuat peraturan-peraturan yang mengatur cybercrime ini, tetapi masih ada saja orang yang melanggarnya. Terhadap pelanggaran aturan-aturan tersebut, tentu akan dikenakan hukuman yang sesuai perbuatannya. Berbagai macam  peraturan-peraturan terhadap pelanggaran, kejahatan, dan sebagainya terlah diatur dalam Hukum Pidana. Dalam hal pemberlakuan hukum pidana ini, maka ada pembatasan yang sangat penting yakni Batas Tempat dan Orang, dan Batas Waktu.

Dalam KUHP sendiri telah ditentukan mengenai batas-batas berlakunya hukum pidana yakni dalam Bab Pertama buku I dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 9. Pasal 1 tentang batas berlakunya hukum pidana menurut waktu dan selebihnya mengenai batas berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang. Mengingat bahwa cybercrime ini melampaui batas waktu dan tempat, dimana kejahatan bisa dilakukan dimana saja dan yang menjadi korban kejahatan bisa berada di tempat yang berbeda, begitu juga dengan perbedaan zona waktu yang ada di berbagai belahan dunia, maka batasan waktu (tempus delicti) dan tempat (locus delicti) ini perlu menjadi perhatian khusus dalam menentukan hukum pidana. Kegunaan teori locus delicti dan tempus delicti adalah untuk memecahkan persoalan tentang berlakunya peraturan hukum pidana atau kewenangan instansi untuk menuntut dan mengadili.

Locus Delicti

Locus delicti berasal dari bahasa latin yang berarti tempat (locus) dan tindak pidana (delict), yaitu salah satu asas hukum pidana yang menganut prinsip bahwa pengadilan yang mengadili suatu perkara, diadili berdasarkan dimana tempat (locus) kejahatan (delict) terhadi. Hal ini diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Locus delicti ini perlu diketahui untuk :

  1. Apakah suatu perundang-undangan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut atau tidak.
  2. Kompetensi Relatif dari kejaksaan dan pengadilan, yang artinya kejaksaan dan pengadilan mana yang berwenang menangani suatu perkara pidana. Jika terjadi perselisihan antara suatu pengadilan negeri dengan pengadilan lainnya, maka yang berwenang memutus siapa yang berhak mengadili suatu perkara adalah pengadilan tinggi.

Ada beberapa teori dari Locus Delicti menurut Sudarto (Sudarto, 1990), yakni:

  1. Teori Perbuatan Materiil (de leer van de lichmelijke daad)
    Menurut teori ini yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana didasarkan pada perbuatan secara fisik atau tempat dimana perbuatan itu dilakukan.
  1. Teori bekerjanya alat yang digunakan (de leer van het instrument)
    Menurut teori ini yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana adalah tempat dimana alat yang digunakan menimbulkan akibat tindak pidana. Akibatnya bisa berupa kematian, penderitaan, kerugian dan akibat-akibat lain.
  1. Teori akibat
    Menurut teori ini yang menjadi tempat terjadinya tindak pidana adalah dimana tempat terjadinya akibat dari tindak pidana.

Tempus Delicti

Tempus Delicti, berasal dari Bahasa latin yang berarti waktu, secara istilah yaitu berlakunya hukum pidana dilihat dari segi waktu terjadinya perbuatan pidana. (Moeljatno, 1987) mengenai penentuan soal waktu (tempus delicti) dalam undang-undang hukum pidana tidak dijelaskan secara rinci serta tidak ada ketentuan khusus yang mengaturnya.

Tempus delicti perlu diketahui untuk :

  1. Untuk mengetahui apakah pada saat itu sudah berlaku hukum pidana atau belum. Dan jika terjadi perubahan dalam perundang-undangan, ketentuan manakah yang diterapkan.
  2. Untuk menentukan daluwarsa dan hak penuntutan, sehingga perlu diketahui saat yang dianggap sebagai waktu permulaan terjadinya kejahatan.
  3. Untuk menentukan tersangka mampu bertanggung jawab atau belum, atau dalam hal ini pada saat melakukan tindak pidana sudah dewasa atau tidak. Hal ini berkaitan dengan Pasal 45 KUHP dimana hakim dapat menjalankan tiga jenis hukuman terhadap tersangka yang belum genap berusia 16 tahun, yakni (1) mengembalikan kepada orang tuanya, (2) menyerahkan kepada pemerintah dengan tidak menjatuhkan hukuman, dan (3) menjatuhkan hukuman yang diancamkan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh tersangka.

Adapun teori tempus delicti yang dikemukakan oleh Satochid Kartanegara (Kartanegara, 2000) diantaranya :

  1. Teori perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad)
    Teori ini menjelaskan kapan suatu delik dilakukan oleh tersangka.
  1. Teori bekerjanya alat yang digunakan (de leer van het instrumen)
    Teori ini menjelaskan kapan suatu alat yang digunakan untuk melakukan suatu  delik itu diaktifkan dan berakhir hingga memberikan akibat bagi korbannya,
  1. Teori akibat (de leer van het gevolg)
    Teori ini menjelaskan mengenai kapan akibat mulai timbul ketika terjadi  suatu delik.
  1. Teori waktu yang jamak (de leer van de meervoudige tijd)
    Batas berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang.

Untuk tindak kejahatan cybercrime memang agak susah menentukan locus dan tempus delicti yang mana kita ketahui bersama bahwa Internet atau cyberspace adalah seolah-olah dunia tidak ada batasnya atau lintas batas. Dalam tindak pidana, seorang pelaku tindak pidana bisa saja melakukan niat jahatnya disatu tempat dan tujuan dari niat jahatnya itu terjadi di tempat lain. Dalam proses pelaksanaan tindak pidana tersebut bisa saja terjadi tindak-tindak pidana yang lain. Dalam artikel “Tanya Jawab Seputar UU ITE” dijelaskan bahwa yang menjadi concern pihak kepolisian adalah lokasi harddisc berada. Dengan atau melalui hard disc ini diduga bahwa pelaku telah melakukan satu tindak pidana. Adapun literatur hukum yang digunakan di Indonesia mengenal adanya tiga teori locus delict seperti yang dijelaskan diatas, akan tetapi ketentuan Pasal 84 ayat(2) KUHAP yang merupakan legislasi di Indonesia mengatur bahwa pada prinsipnya locus delicti suatu tindak pidana adalah tempat dimana tindak pidana itu dilakukan.

Di Amerika Serikat dalam menentukan locus delicti, ada beberapa teori (Menthe, 1998), yakni :

  1. Theory of The Uploader and Download
    Teori ini menjelaskan bahwa dalam dunia cyber terdapat 2 (dua) hal utama yaitu uploader (pihak yang memberikan informasi ke cyberspace), dan downloader (pihak yang mengakses informasi)
  1. Theory of Law of the Server
    Teori ini menjelaskan bahwa penyidik memperlakukan server dimana halaman web secara fisik berlokasi tempat mereka dicatat atau disimpan sebagai data elektronik.
  1. Theory of International Space
    Teori ini menjelaskan bahwa cyberspace dianggap sebagai suatu lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensional dimana setiap negara memliki kedaulatan yang sama.

Untuk penentuan tempus delicti, pada artikel “Tanya Jawab Seputar UU ITE” dijelaskan bahwa salah satu acuan bagi Penyidik dalam menentukan tempus delicti tindak pidana tersebut adalah dengan melihat pada log file yang berisi informasi timestamp pada suatu system komputer. (Mengenai system waktu dalam komputer, silahkan baca disini). Penentuan waktu pengiriman dan penerimaan dokumen elektronik dan/atau informasi elektronik, diatur dalam ada pasal 8 UU ITE tahun 2008. Pasal 8 UU ITE tahun 2008 menjelaskan bahwa waktu pengiriman suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik telah dikirim dengan alamat yang benar oleh Pengirim ke suatu Sistem Elektronik yang ditunjuk atau dipergunakan Penerima dan telah memasuki Sistem Elektronik yang berada di luar kendali Pengirim. Misalnya seperti email, atau dokumen elektronik lainnya, ketika pengirim telah mengirimkan dengan mengklik atau menekan tombol enter, maka waktu yang tercatat pada saat itulah yang dijadikan acuan sebagai waktu pengiriman dan tidak dapat diubah oleh pengirim dikarenakan telah tercatat di system server pengiriman dokumen elektronik misalnya email. Adapun tentang waktu penerimaan, pasal 8 UU ITE menjelaskan bahwa waktu penerimaan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem  Elektronik  di  bawah  kendali  Penerima  yang berhak.  Dan jika terdapat dua atau lebih system informasi yang digunakan dalam pengiriman atau penerimaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik,  maka: (a) waktu  pengiriman  adalah  ketika  Informasi  Elektronik dan/atau  Dokumen  Elektronik  memasuki system informasi pertama yang berada di luar kendali Pengirim; (b) waktu  penerimaan adalah ketika Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki  system informasi terakhir yang berada di bawah kendali Penerima.

Mari kita cermati beberapa kasus terkait cybercrime di Indonesia.

  1. Kasus deface web presidensby.info yang terjadi pada awal tahun 2013 yang mana situs presidensby.info dideface (atau diubah tampilan website) oleh Wildan Yani Anshari dengan menggunakan nickname MJL007. Kasus ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Klas 1B Jember Nomor 253/Pid B/2013/PNJR pada tanggal 19 Juni 2013. Pada kasus ini terdakwa yakni Wildan Yani Anshari selaku operator warnet Surya Com milik CV. Surya Infotama, Jalan Letjen Suprapto No. 169, Kebon Sari Kab. Jember, Jawa TImur atau setidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jember, terbukti melakukan tindak kejahatan dengan sengaja dan tanpa hak mengakses komputer dan/atau system elektronik milik orang lain.
    Jika kita melihat kasus ini bahwa tempat pelaku melakukan kejahatannya adalah di daerah Jember, sehingga yang berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya adalah Pengadilan Negeri Jember, walaupun yang menjadi korban (komputer/server) tidak berada di wilayah Jember.
  2. Kasus lainnya adalah kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Florence Sihombing pada tahun 2014, yang mana Florence Sihombing pada tanggal 27 Agustus 2014 bertempat di Jl. Srigunting No. 2 Demangan Baru Yogyakarta dalam hal ini masih termasuk dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Yogyakarta, dengan sengaja melakukan penghinaan warga Yogyakarta melalui media social Path. Dalam kasus ini kita bisa melihat bahwa yang melakukan pemeriksaan dan yang mengadili adalah Pengadilan Negeri Yogyakarta, yang mana pada saat melakukan tindakan tersebut terdakwa berada di wilayah Yogyakarta.
  3. Jika kedua kasus diatas bahwa Pengadilan yang berwenang memeriksa dan mengadili tindak pidana adalah Pengadilan yang memiliki wilayah hukum dimana pelaku melakukan tindak pidananya, maka berbeda halnya dengan kasus yang terjadi tentang penyebaran Hoax Sri Sultan HB Yogyakarta. Pengadilan yang memeriksa dan mengadili adalah Pengadilan Negeri Yogyakarta. Padahal pelakunya adalah warga Oku Timur, Sumatera Selatan. Disini berarti teori yang digunakan adalah teori akibat dimana tempat terjadinya tindak pidana adalah dimana tempat terjadinya akibat dari tindak pidana tersebut.

Dalam penelitian skripsi oleh Martini Pudji Astuti, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Martini menjelaskan hasil wawancara dengan Kompol Iswanto selaku  penyidik khusus cyber crime di Reskrimsus Polda Jawa Tengah menyatakan bahwa kepolisian dalam menentukan tempus delicti, kepolisian memeriksa pertama  kapan pelaku mengakses atau membuat atau melakukan dalam system internet, kedua, akibat perbuatan tersebut terjadi yakni tempusnya kapan data tersebut diterima ke dalam  system komputer atau sarana yang diterima, ketiga, mengenai waktu kejahatan tersebut dilakukan adalah saat pelaku mengakses sebuah internet secara otomatis bulan, tanggal, dan waktu yang ditunjukan telah tersimpan dalam dokumen yang di akses. Disini kita bisa melihat bahwa pihak kepolisian menggunakan teori Uploader dan Downloader seperti yang dikemukakan oleh Menthe. Namun berbeda dengan hasil wawancara dengan Agung Dhedy, S.H., M.H, selaku jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Semarang yang pernah menangani tindak pidana khusus. Beliau menyatakan bahwa penjeratan pelaku kejahatan cyber crime terkait dengan  penentuan tempus delicti, jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Semarang tidak menggunakan UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik)   melainkan menggunakan KUHP, dikarenakan masih belum efektifnya UU No.11 Tahun  2008 tentang ITE menerapkan Undang-undang tersebut untuk menangani kasus cyber masih banyak kelemahan salah satu contohnya adalah tidak diatur secara jelas  mengenai tempusnya walaupun didalam KUHP sudah ada aturannya sendiri, kurang  pemahamannya sendiri atau kurangnya penegak hukum dalam ITE.

Jika kita melihat berbagai kasus diatas, maka Indonesia menerapkan semua teori locus dan tempus delicti. Seperti yang disimpulkan dalam penelitian skripsi oleh Martini Pudji Astuti, yang menyimpulkan bahwa penentuan tempus dan locus delicti ada empat teori yang digunakan yakni (1) teori perbuatan materiil, (2) teori akibat, (3) teori instrument, dan (teori gabungan). Menurut Martini, dari hasil penelitiannya tersebut bahwa penegak hukum di Indonesia menggunakan ke-empat teori tersebut, tetapi lebih banyak menggunakan teori perbuatan materiil (seperti dalam tulisan ini pada kasus no. 1 dan 2) dan teori akibat (pada kasus no. 3).

Referensi:

  • Kartanegara, S. (2000). Hukum Pidana . Yogyakarta: Balai Lektur Mahasiswa.
  • Menthe, D. C. (1998). Jurisdiction in Cyberspace: A Theory ofInternational Spaces (Vol. 4). Michigan: Michigan Telecommunications and Technology Law Review.
  • Moeljatno. (1987). Azas – azas Hukum Pidana . Jakarta: Bina Aksara.
  • Sudarto. (1990). Hukum Pidana I (Vol. II). Semarang: Yayasan Sudarto.
  • Warta Hukum Online – https://wartahukum.id/penyebar-berita-hoax-sultan-diganjar-25-tahun-penjara

Leave a Reply